Sindiran Dari Langit
Al-Qur’an selalu saja mempertunjukkan sesuatu yang menarik diantara ayat dan hurufnya. Pada beberapa tempat, ia seperti berbicara keluar konteks tiba-tiba, seperti ketika kita keluar dari topik pembicaraan dalam sebuah diskusi untuk kemudian kembali lagi. Jika ada sisipan ayat yang nampak berbeda dari konteks redaksional ayat sebelum dan sesudahnya, maka hal itu salah satunya terjadi pada ayat-ayat tentang puasa.
Satu diantaranya adalah sisipan ayat Q.S. Al-Baqarah: 185, yang sepintas tidak ada hubungannya dengan disyariatkannya puasa di bulan Ramadan:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 185)
Sepertinya Allah hendak menyindir dengan cara menegaskan demikian, karena sebagian dari umatnya bakal ada yang merasa syariat puasa ini begitu berat untuk dilaksanakan. Mungkin karena tak seperti kewajiban ibadah lain — salat, zakat, dan haji misalnya, puasa yang harus “menahan lapar” lebih mengancam diri kita.
Apakah puasa memang bersifat “menyiksa” jiwa raga kita?
***
Para ulama sepakat bahwa ada 6 (enam) hal pokok yang harus dipelihara di dalam Islam, yakni: agama, jiwa, akal, harta, keturunan, dan kehormatan. Setiap syariat Islam pasti memperhatikan dan tidak boleh mengabaikan ke-6 hal pokok ini. Tentu demikian juga puasa.
Bagaimanapun puasa berkaitan erat dengan urusan makan, minum, dan kesehatan; yang hal itu erat kaitannya dengan aspek “jiwa” kita dari ke-6 hal pokok di atas. Oleh karena itu, pasti dan tidak boleh puasa mengancam nyawa kita, hingga binasa karenanya. Dan bukankah tidak pernah tercatat dalam sejarah seseorang tewas karena berpuasa?
Sebagian orang menganggap puasa dapat menyebabkan kontraksi perut (hunger contraction), dimana perut melilit-lilit karena lapar hingga pada tingkatan nyeri. Kontraksi itu terjadi jika lambung kosong dari makanan antara 12 – 24 jam.
Bagaimana dengan “kosongnya lambung” ketika puasa? Jika kita sahur pukul 3.30 pagi, maka makanan yang masuk ke lambung akan diproses selama 4 jam sebelum kemudian masuk ke usus halus. Artinya, lambung kita mulai kosong pukul 7.30. Jika kita berbuka pada pukul 17.30, maka itu artinya kekosongan lambung kita hanyalah sekitar 10 jam saja. Oleh karena itu, kekhawatiran berpuasa akan membuat tubuh “nyeri” atau sakit adalah kekhawatiran yang tidak berdasar.
Di samping itu, dalam keadaan tubuh tidak kemasukan sesuap nasipun, tubuh manusia masih memiliki cadangan energi yang disebut glikogen, yang dapat membuat kita bisa bertahan selama 25 jam.
***
Agaknya kita harus memahami bahwa penerapan hukum Islam itu memiliki 3 asas, yakni berangsur-angsur / gradual (tadrij fit tasyri’), tidak adanya kesulitan (adamul haraj), dan meminimalkan beban (taqlilut takalif).
Puasa tidak diwajibkan pada masa awal Islam. Ada kewajiban puasa pun hanya sehari dalam setahun (Puasa Asyura). Baru kemudian kewajiban puasa Ramadan sebagaimana diwajibkan pada kaum terdahulu disyariatkan. Itu pun meski “sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 183), namun berbeda dengan puasa orang Nashrani yang tidak ada sahur dan dilarangnya berhubungan dengan istri meski di malam hari, puasa kita diberikan sunah sahur dan kelonggaran untuk berkumpul dengan istri di malam hari puasa. Allah berfirman:
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Q.S. Al-Baqarah: 187
Ketidakadaannya kesulitan (adamul haraj) tercermin dari betapa fleksibelnya puasa kita. Ini bisa dilihat dari adanya 3 (tiga) kelompok umat terkait dengan kewajiban ini. Pertama, mereka yang tak ada udzur, tidak sakit, tidak bepergian, maka wajib puasa sebulan penuh. Kedua, orang yang sakit atau bepergian, maka boleh tidak berpuasa, namun harus menggantinya di hari yang lain (Q.S. Al-Baqarah: 185). Dan ketiga, bagi mereka yang tak mampu berpuasa karena sakit yang melumpuhkan atau memang sudah tua-renta, boleh tidak berpuasa, bahkan tidak harus mengganti di hari yang lain, namun wajib membayar fidyah untuk fakir-miskin (Q.S. Al-Baqarah: 184).
Dan bukankah ketika kita berpuasa boleh bersiwak, berkumur, bahkan menyelam dalam air? Tentu bukan sambil menyelam minum air yang jelas batal puasanya. Bukankah boleh mencium istri di siang hari puasa? Bukankah boleh menelan ludah atau ingus, mencicipi masakan tanpa menelan?
Puasa kita juga berprinsip meminimalkan beban (taqlilut takalif). Itu berarti, puasa memang disyariatkan dapat dijalankan oleh “manusia biasa” seperti kita. Sesuai dengan fitrah kita yang memiliki segudang keterbatasan. Oleh karena itu, kita disunahkan mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Meneruskan puasa jika lupa makan atau minum. Kita dilarang puasa dua hari berturut-turut, apalagi lebih. Tidak ada syariat tapa brata, tapa pendem, tapa nggantung, dan hal-hal aneh lain di dalam Islam. Kalau kita tidak kuat, boleh juga berbuka dan menggantinya di hari yang lain.
Kalaupun ada perilaku ekstrem dalam berpuasa, itu tentu bukan tradisi Islam, melainkan tradisi kaum pendahulu kita. Perilaku ekstrem itu tidak sesuai dengan karakteristik agama ini yang ummatan wasathan, yang jalan tengah, tidak ifrath dan tafrith (melampaui batas dan teledor), tidak ghuluw (berlebihan) seperti Nashrani, dan tidak taqshir (sembrono) seperti Yahudi.
***
Walhasil, itu semua menunjukkan bahwa puasa itu mudah dan ringan. Sesuai fitrah kita. Jika ada yang masih menganggap puasa sebagai syariat yang berat, barangkali justru karena kita yang melebih-lebihkan (ghuluw) saja. Ketika pingsan dalam perjalanan karena meski merasa tak kuat, tetapi nekat meneruskan puasa, maka itu semata kesalahan kita sendiri. Ada rukhsah, tetapi kita enggan mengambilnya.
Jadi tepat sekali sisipan firman-Nya di atas, bahwa Allah menghendaki kemudahan dan bukan kesukaran bagi diri kita. Utamanya di dalam menjalankan puasa ini. Sindiran inilah sepertinya yang hendak disampaikan-Nya kepada kita diantara ayat-ayat puasa. Kalau masih ada yang menganggap puasa sebagai syariat yang “menyiksa”, maka itu berarti ia tak mempan dengan sindiran Allah ini.
Padahal dalam sebuah hadits, Rasulullah sudah menyampaikan bahwa:
Agama ini mudah. Seseorang tidaklah melebih-lebihkan terhadap agama ini kecuali ia akan terkalahkan. Maka yang lebih baik dilakukan adalah berlaku luruslah, dan tengah-tengahlah. (H.R. Bukhari)
Wallahu a’lam.
***
Keterangan.
Gambar diambil dari blog muhsinlabib.wordpress.com
Maraji:
Ust. Achmad Syarifuddin, Puasa dan Kesehatan Fisik dan Psikis, Gema Insani Press.
Hadits diambil dari http://ummulhadits.org